Rabu, 01 Juni 2011

Kartini bukan Kartono



Ketika kalender menunjukkan angka 21 di bulan April, pasti terlintas dalam benak kita sosok pejuang wanita, R.A. Kartini. Bahkan kalo kita lihat sekeliling kita, banyak digelar parade kartini yang memakai kebaya plus tak ketinggalan kondenya.
Bahkan, banyak aktivis perempuan yang katanya memperjuangkan hak wanita agar sama dengan pria, membawa-bawa nama Kartini sebagai simbol pejuang feminisme. Gerakan ini berusaha, bagaimana pun caranya, agar wanita bisa menduduki posisi yang biasanya didominasi pria, meskipun harus mengabaikan nilai budaya apalagi agama. Walhasil, bisa kita lihat sekarang, banyak sekali bertebaran wanita karier di perkantoran. Bahkan kini sedang diperjuangkan agar wanita bisa menduduki banyak kursi di dewan perwakilan, lebih kenceng lagi berusaha menjadi presiden. Kecerdasan dan penampilan menarik wanita pun dieksploitasi habis-habisan.
Gals, coba kita tengok, yang biasanya jadi sales promotion itu cewek apa cowok?, yang biasanya dimajukan ketika mengajukan lobi, atau memamerkan barang produksi itu cewek ato cowok? Bahkan bukan jadi rahasia lagi, jasmani wanita pun banyak dieksploitasi di berbagai tempat hiburan, yang dilindungi pemerintah demi pemasukan pajak pendapatan.
Gals, kalo kita tilik sejarah lagi, ternyata Kartini yang banyak bergaul dengan noni-noni Belanda memang pada awalnya menganggap budaya Eropa/Belanda sebagai budaya yang tinggi dan patut dicontoh. Namun semenjak dia mempelajari Islam melalui Al-Qur’an, dia menjadi sadar, dan menganggap ideologi kebebasan yang digembar-gemborkan Eropa tak layak disebut peradaban.
Dalam salah satu suratnya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat, dia menulis, ”Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Al-Qur’an yang isisnya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa? Bukankah Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”. Subhanallah gals, hanya belajar satu surat saja, pemikiran Kartini langsung berubah, bagaimana ya kalau beliau sudah mempelajari Al-Qur’an sampai surat An-Nur dan Al-Ahzab. Mungkin gambar Kartini yang sekarang kita lihat bukan berkonde, tapi berkerudung dan berjilbab.
Gals, Kartini sebenarnya berjuang agar wanita Indonesia menjadi cerdas dalam mendidik anak dan mengolah rumah tangga. Bukan berlomba-lomba kerja kantoran dan melalaikan kewajibannya mengatur rumah tangga. Karena memang maju tidaknya sebuah negara ditentukan oleh bagaimana wanitanya, yang punya peranan penting dalam menyiapkan generasi bangsa.
Islam memang agama yang tock cer, Islam tidak memandang sebelah mata kaum wanita, seperti yang diisukan kaum feminis. Sebaliknya, Islam memposisikan peran wanita sejajar dengan laki-laki sesuai porsinya. Kalau laki-laki bisa berjihad di medan perang, maka kita bisa berjihad ketika melahirkan insan mungil. Bahkan Islam membolehkan (tidak mewajibkan) wanita bekancah di ranah publik, asalkan tidak meninggalkan kewajiban utamanya di rumah tangga. Misalnya, Khadijah yang menjadi pebisnis sukses di masanya, atau sahabat Shafiyyah Binti Abdul Muthalib yang berani menghadapi penyusup Yahudi seraya membunuhnya dengan tiang tenda. Yang perlu kita camkan gals, Allah SWT adil dalam mengatur peran wanita dan laki-laki. Yang membedakan hanya ketaqwaannya saja. Adil ga harus sama kan? Apa kamu yang SMA rela neh dikasih uang jajan 2000 rupiah, sama kayak adek kita yang masih TK? Ya engga dong!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar